Ludwig Feuerbach[1]
dan Akhir Filsafat Klasik Jerman
I
– Hegel[2]

Seperti halnya di
Perancis dalam abad kedelapanbelas, demikian julalah di Jerman dalam abad
kesembilanbelas, revolusi filsafat mengantarkan keruntuhan politik. Tetapi
alangkah berbedanya keduanya itu kelihatannya! Orang-orang Perancis mengadakan
pertempuran terbuka melawan semua ilmu resmi, melawan gereja dan sering-sering
juga melawan negara; tulisan-tulisan mereka dicetak di luar perbatasan, di
Inggris atau di Belanda, sedangkan mereka sendiri selalu berada dalam bahaya
dipenjarakan di dalam Bastille[4].
Di pihak lain, orang-orang Jerman adalah profesor-profesor, para pengajar
pemuda yang diangkat oleh negara: tulisan-tulisan mereka diakui sebagai buku
pelajaran, dan sistem yang terbatas dari seluruh perkembangan - sistem Hegelian
- bahkan ditingkatkan, sampai batas tertentu, ke dalam barisan filsafat negara
kerajaan Prusia! Apakah mungkin di belakang para profesor itu, di belakang
kata-kata mereka yang samar-samar, sok pengetahuan, di belakang kalimat-kalimat
mereka yang bijak, yang menjemukan, bersembunyi revolusi?
Apakah orang-orang yang pada waktu itu dianggap sebagai
wakil-wakil revolusi bukan justru kaum liberal, musuh yang paling sengit dari
filsafat yang mengacaukan otak itu? Tetapi apa yang tidak bisa dilihat baik
oleh pemerintah maupun oleh kaum liberal sejak 1833, telaih dilihat
sekurang-kurangnya oleh satu orang, dan orang itu tidak lain adalah Heinrich
Heine.[5]
Mari kita ambil sebuah contoh. Tidak ada dalil filsafat yang telah
menimbulkan rasa terimakasih yang lebih besar dari pemerintah2 yang berpikiran
picik dan amarah dari kaum liberal yang sama picik pikirannya daripada
pernyataan Hegel yang terkenal: Segala sesuatu yang riil adalaih rasional; dan
segala sesuatu yang rasional adalah riil. Pernyataan itu merupakan pembenaran
yang nyata terhadap segala sesuatu yang ada, doa-restu filsafat yang
dilimpahkan kepada despotisme, pemerintahan polisi, sidang-sidang Star Chamber[6]
dan sensor. Begitulah Friedrich Wilhelm III[7]
dan begitulah Rakyatnya memahami pernyataan itu. Tetapi, menurut Hegel pastilah
bukan segala sesuatu yang ada adalah juga riil, tanpa kualifikasi lebih jauh.
Bagi Hegel sifat realitas terdapat hanya pada apa yang sekaligus adalah
keharusan: "dalam proses perkembangannya realitas terbukti adalah
keharusan." Maka itu, tindakan pemerintah tertentu - Hegel sendiri
mengutip sebagai contoh “peraturan pajak tertentu” - baginya sama sekali
bukanlah hal yang riil tanpa kualifikasi. Tetapi, keharusan, akhirnya
membuktikan bahwa ia adalah juga rasional; dan, jika diterapkan pada negara
Prusia pada waktu itu. maka, dalil Hegel hanyalah berarti negara ini adalah
rasional, sesuai dengan akal, sejauh ia adalah keharusan; dan, jika, meskipun
demikian, ia kelihatan kepada kita sebagai sesuatu yang jahat, tetapi tetap,
meskipun wataknya jahat, ada terus, maka watak jahat pemerintah itu dibenarkan
dan dijelaskan oleh watak jahat yang sama yang terdapat pada warga negaranya.
Orang-orang Prusia zaman itu mempunyai pemerintahan yang patut bagi mereka.
Jadi, menurut Hegel, realitas sekali-kali bukanlah sifat yang
dapat diramalkan di dalam keadaan tertentu yang mana saja, sosial atau politik,
dalam semua keadaan dan pada setiap masa. Sebaliknyalah yang benar. Republik Romawi
adalah riil, tetapi demikian juga halnya dengan kerajaan Romawi, yang
mendahuluinya. Dalam tahun 1789 monarki Perancis telah menjadi begitu tidak
riil, yaitu, telah begitu dilucuti dari segala keharusan, begitu tidak
rasional, sehingga ia harus dihancurkan oleh Revolusi Besar. Tentang revolusi
itu Hegel selalu berbicara dengan kegairahan yang amat tinggi, Maka itu, dalam
hal ini, monarki adalah yang tidak riil dan revolusi adalah yang riil. Jadi,
dalam proses perkembangan, semua yang di masa lampau adalah riil menjadi tidak
riil: kehilangan keharusannya, hak eksistensinya, rasionalitasnya. Dan pada
tempat realitas yang sekarat lahir realitas baru, yang dapat hidup - secara
damai jika yang lama cukup cerdik untuk menemui ajalnya tanpa perjuangan; dengan
kekerasan jika ia melawan keharusan itu. Jadi dalil Hegel berbalik menjadi hal
yang berlawanan dengannya lewat dialektika Hegel itu sendiri. Segala sesuatu
yang riil di bidang sejarah manusia menjadi tidak rasional dalam proses waktu,
maka itu tidak rasional dari segi tujuannya itu sendiri, sebelumnya telah
dinodai oleh irrasionalitas; dan segala sesuatu yang rasional di dalam pikiran
manusia ditakdirkan untuk menjadi riil, betapapun banyaknya ia bertentangan
dengan realitas yang betul-betul ada. Sesuai dengan semua ketentuan metode
berpikir Hegelian, dalil tentang rasionalitas segala sesuatu yang riil mengubah
dirinya menjadi dalil yang lain - Segala sesuatu yang ada patut mengalami
kehancurannya.
Tetapi justru disitulah letak arti sesungguhnya dan watak revolusioner
dari filsafat Hegel (pada filsafat mana, sebagai penutup seluruh gerakan sejak
Kant, kita harus membatasi diri disini), bahwa ia untuk selama-lamanya
memberikan pukulan yang menghancurkan kepada keabadian semua hasil pemikiran
dan perbuatan manusia. Kebenaran, yang pengenalannya. menjadi urusan filsafat,
di dalam tangan Hegel tidak lagi merupakan jumlah pernyataan-pernyataan
dogmatis yang selesai, yang, sekali ditemukan, banialah harus dipelajari di
luar kepala. Sekarang kebenaran terletak di dalam proses pengenalan itu
sendiri, di dalam perkembangan historis yang lama dari ilmu, yang menaik dari
tingkat pengetahuan yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi tanpa bisa
mencapai, dengan menemukan apa yang disebut kebenaran absolut, suatu titik
dimana ia tidak dapat maju lebih jauh lagi, dimana ia tidak akan mempunyai
pekerjaan lagi selain daripada berpeluk tangan dan menatap dengan rasa
keheran-heranan pada kebenaran absolut yang telah dicapai. Dan apa yang benar
bagi dunia pengetahuan filsafat benar pula bagi setiap macam pengetahuan
lainnya dan juga bagi persoalan persoalan praktis. Seperti halnya pengetahuan
'tidak mungkin dapat mencapai kesimpulan yang lengkap dalam syara-syarat
kernanusiaan yang sempurna, yang ideal, maka sejarahpun tidak mungkin dapat
berbuat demikian; masyarakat yang sempurna, “negara” yang sempurna, adalah
hal-hal yang mungkin ada di dalam kahyal saja. Sebaliknya, semua sistim sejarah
yang silih berganti hanyalah tingkat-tingkat peralihan di dalam proses
perkembangan masyarakat manusia yang tiada akhirnya dari tingkat yang lebih
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Setiap tingkat adalah tingkat keharusan,
dan maka itu dapat dibenarkan untuk masa dan syarat-syarat yang menjadi
sumbernya. Tetapi dalam berhadapan dengan syarat-syarat baru, syarat-syarat
yang lebih tinggi yang secara berangsur-angsur berkembang di dalam kandungannya
sendiri, ia kehilangan keabsahannya dan pembenarannya, ia harus menyerah kepada
tingkat yang lebih tinggi yang pada gilirannya juga akan melapuk dan hancur.
Seperti halnya borjuasi lewat industri besar, persaingan dan pasar dunia dalam
praktek membubarkan semua lembaga yang stabil, yang tua dan dihormati, maka
filsafat dialektik ini pun membubarkan semua konsepsi tentang kebenaran
terakhir, absolut dan tentang keadaan manusia yang absolut yang sesuai dengan
itu. Baginya (filsafat dialektik) tidak ada sesuatupun yang terakhir, yang
absolut, yang keramat. Ia menyingkapkan watak peralihan dari segala sesuatu dan
di dalam segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang dapat bertahan berhadapan
dengan watak itu kecuali proses menjadi dan melenyap yang berlangsung dengan
tiada putus-putusnya, proses menaik dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat
yang lebih tinggi dengan tiada putus-putusnya. Dan filsafat dialektik itu
sendiri tidaklah lebih daripada pencerminan semata dari proses itu di dalam
otak yang berpikir. Sudah tentu, ia mempunyai juga segi konservatifnya: ia
mengakui bahwa tingkat-tingkat terte'tu pengetahuan dan masyarakat dapat
dibenarkan untuk masanya dan keadaannya; tetapi hanya sejauh itu saja.
Konservatisme cara memandang yang semacam itu adalah relatif, yang absolut
adalah watak revolusionernya - satu-satunya yang absolut yang diakui oleh
filsafat dialektik.
Disini, tidaklah dirasa perlu memasuki persoalan apakah cara
memandang yang seperti itu sepenuhnya sesuai dengan keadaan ilmu-ilmu alam
sekarang ini, yang meramalkan berakhirnya bumi ini sebagai hal yang mungkin dan
dapat didiaminya bumi ini sebagai hal yang amat pasti; yang, oleh karena itu mengakui
bahwa bagi sejarah umat manusia, juga, terdapat bukan hanya cabang yang menaik
tetapi juga yang menurun. Meskipun demikian kita masih berada pada jarak yang
amat jauh dari titik balik dimana jalan sejarah masyarakat menjadi jalan
menurun, dan kita tidak dapat mengharapkan filsafat Hegel menaruh perhatian
pada soal yang ilmu-ilmu alam, pada zamannya, masih belum lagi menjadikan
persoalan yang diperbincangkan.
Tetapi, sesungguhnya, apa yang harus dinyatakan disini ialah:
bahwa pada Hegel pendirian-pendirian yang dikembangkan di atas tidak sebegitu
tajam digariskan. Pendirian-pendirian itu adalah kesimpulan keharusan dari
metodenya, tetapi dia sendiri tidak pernah menariknya sejelas itu. Dan memang,
ini adalah karena alasan yang sederhana bahwa -dia terpaksa menyusun suatu
sistim dan, sesuai dengan keperluan-keperluan tradisionil, suatu sistim
filsafat harus berkesimpulan dengan semacam kebenaran absolut. Maka itu,
betapapun banyaknya Hegel, terutama di dalam tulisannya Logika, menekankan bahwa
kebenaran abadi itu tidaklah lain daripada proses yang logis, atau proses
sejarah itu sendiri, namun dia terpaksa memberikan suatu akhir pada proses itu,
justru karena dia harus mengakhiri sistimnya pada suatu titik. Di dalam Logikanya dia dapat menjadikan
akhir itu awal kembali, karena disini hal yang disimpulkan, ide absolut - yang
hanya absolut sejauh mengenai hal itu dia secara absolut tidak mempunyai
sesuatu lagi untuk disampaikan - “menjelmakan”, yaitu, mengubah, dirinya
menjadi alam dan kemudian menjadi dirinya kembali di dalam otak, yaitu di dalam
pikiran dan di dalam sejarah. Tetapi pada akhir seluruh filsafat itu
pengulangan kembali yang serupa ke awalnya hanyalah mungkin lewat satu jalan.
yaitu, dengan memikirkan tentang akhir sejarah sebagai berikut ini: umat
manusia sampai pada pengenalan ide absolut yang itu juga, dan menyatakan bahwa
pengenalan ide absolut itu dicapai di dalam filsafat Hegel. Tetapi, dengan cara
yang seperti itu, seluruh isi dogmatis dari sistim Hegel dinyatakan sebagai
kebenaran absolut bertertangan dengan metode dialektiknya, yang mencairkan
segala dogmatisme. Jadi segi revolusioner tercekik di bawah pertumbuhan segi
konservatif yang berlebih-lebiban. Dan apa yang berlaku bagi pengenalan
filsafat berlaku juga bagi praktek sejarah. Umat manusia, yang, di dalam diri
Hegel, telah mencapai titik merumuskan ide absolut dalam praktek harus telah
sampai pula sejauh dapat mewujudkan ide absolut itu dalam kenyataan. Maka itu
tuntutan politik praktis dari ide absolut terhadap orang-orang sezamannya tidak
boleh - direntang terlalu jauih. Dan dengan demikian kita temukan pada
kesimpulan Filsafat Hukum bahwa ide absolut akan direalisasikan
di dalam monarki yang berdasarkan pangkat-pangkat sosial yang oleh Friedrich
Wilhelm III dijanjikan dengan begitu gigihnya tetapi sia-sianya kepada warga
negaranya, yaitu, di dalam kekuasaan terbatas, lunak, tidak langsung dari
klas-klas yang bermilik yang sesuai dengan syarat-syarat Jerman borjuis kecil
di zaman itu; dan, tambahan pula, keharusan adanya kaum bangsawan ditunjukkan
kepada kita dengan cara yang spekulatif.
Maka itu, keharusan intern sistim itu dengan sendirinya cukup
untuk menjelaskan mengapa metode berfikir yang sama sekali revolusioner
menghasilkan kesimpulan politik yang keterlaluan jinaknya. Sesungguhnya bentuk
khusus kesimpulan itu lahir dari kenyataan bahwa Hegel adalah seorang Jerman,
dan seperti halnya dengan orang sezamannya, Goethe, mempunyai sedikit kucir
filistin terjuntai di belakangnya. Mereka masing-masing adalah seorang Zeus
Olympia di bidangnya, meskipun demikian tidak seorangpun di antara mereka itu
yang betul-beutk pernah membebaskan dirinya dari filistinisme Jerman.
Tetapi kesemuanya itu tidak merintangi sistim Hegel mencakup
bidang yang tak terbandingkan lebih besarnya daripada sistim yang manapun
sebelumnya, maupun mengembangkan di dalam bidang itu kekayaan fikiran yang
sampai hari ini pun mengagumkan. Fenomenologi jiwa, (yang dapat disebut suatu
paralel dari embriologi dan paleontologi jiwa, perkembangan kesadaran
perseorangan lewat tingkat-tingkatnya yang berbeda-beda, yang terwujud sebagai
bentuk reproduksi yang disingkat dari tingkat-tingkat yang telah ditempuh oleh
kesadaran manusia selama perjalanan sejarah), logika, filsafat alam. filsafat
jiwa, dan yang terakhir dirumuskan di dalam, sub-bagian-bagiannya yang historis
secara sendiri-sendiri: filsfat sejarah, filsafat hukum, filsafat agama,
sejarah filsafat, estetika, dsbnya - di semua bidang sejarah yang berbeda-beda
ini Hegel bekerja keras untuk menemukan dan menunjukkan benang perkembangan
yang menjulur. Dan karena dia bukan hanya seorang seni yang kreatif tetapi juga
seorang yang berpengetahuan ensiklopedi, dia melakukan peranan yang membuat
zaman di setiap bidang. Adalah jelas dengan sendirinya bahwa karena kebutuhan
“sistim” dia sering harus menggunakan konstruksi-konstruksi yang dipaksakan dan
tentang itu lawan-lawannya yang kerdil membikin kehebohan yang begitu hebat
bahkan sampai hari ini. Tetapi konstruksi-konstruksi itu hanyalah kerangka dan
perancah karyanya. Jika di tempat itu orang tidak membuang-buang waktu tanpa
ada keperluannya, tetapi maju terus ke dalam bangunan yang maha besar itu, maka
orang akan menemukan kekayaan yang tiada terhitung banyaknya yang hingga hari
ini masih memiliki nilai yang tiada berkurang. Pada semua ahli filsafat justru
“sistim” itulah yang dapat hancur; dan karena alasan yang sederhana bahwa dia
lahir dari keinginan yang kekal dari jiwa manusia - yaitu keinginan untuk
mengatasi semua kontradiksi. Tetapi, jika semua kontradiksi untuk selama-lamanya
sudah ditiadakan., maka kita akan mencapai apa yang dinamakan kebenaran absolut
- sejarah dunia akan berakhir. Akan tetapi sejarah itu harus berjalan terus,
meskipun tidak ada lagi yang harus dikerjakannya - jadi, kontradiksi baru,
kontradiksi yang tak terpecahkan. Segera kita menyadari - dan akhirnya tidak
ada orang yang membantu kita menyadari hal itu lebih daripada Hegel sendiri -
bahwa tugas filsafat yang dinyatakan sedemikian itu tidak berarti lain daripada
bahwa tugas yang harus dipenuhi oleh seorang ahli filsafat ialah yang hanya
dapat dipenuhi oleh seluruh umat manusia dalam proses perkembangannya yang
progresif - segera kita menyadari hal itu, maka berakhirlah filsafat dalam arti
kata yang hingga saat itu diterima. Orang membiarkan saja “kebenaran absolut”,
yang tak tercapai disepanjang jalan itu atau oleh perseorangan yang manapun;
sebaliknya, orang mengejar kebenaran-kebenaran relatif yang dapat dicapai
sepanjang jalan yang ditempuh oleh ilmu-ilmu positif dan menyimpulkan
hasil-hasilnya lewat pemikiran dialektik. Bagaimanapun juga, dengan Hegel
filsafat menemui akhirnya: disatu pihak, karena didalam sistimnya dia
menyimpulkan seluruh perkembangan filsafat menurut cara yang amat mengagumkan;
dan dipihak lain, karena meskipun secara tidak sadar, dia menunjukkan kepada
kita jalan keluar dari tempat menyesatkan berupa sistim-sistim kepengetahuan
positif yang sesungguhnya tentang dunia.
Orang dapat membayangkan betapa besarnya pengaruh sistim Hegel itu
terhadap iklim Jerman yang bercorak filsafat itu. la merupakan pawai kemenangan
yang berlangsung berabad-abad lamanya dan yang sama sekali tidak berhenti
dengan wafatnya Hegel. Sebaliknya, justru dari tahun 1830 sampai dengan
1840-lah bahwa “Hegelianisme” berkuasa secara amat eksklusif, dan sampai batas
yang kurang-lebih besar menulari bahkan lawan-lawannya. Justru di dalam periode
itulah pendirian-pendirian Hegelian, secara sadar maupun tidak sadar, dengan
amat luasnya menyusup ke dalam ilmu-ilmu yang amat beranekaragam dan
menyuburkan bahkan literatur populer dan harian-harian, dari mana “kesadaran
terpelajar” rata-rata mendapatkan makanan mentalnya. Tetapi kemenangan di
seluruh front itu hanyalah merupakan pendahuluan bagi suatu perjuangan intern.
Seperti sudah kita lihat, ajaran Hegel, dalam keseluruhanya,
menyisakan cukup ruang untuk memberikan perlindungan kepada pendirian praktis
partai yang amat banyak anekaragamnya. Dan di Jerman teoritis waktu itu, di
atas segala-galanya dua hal adalah praktis: agama dan politik. Siapa yang
memberikan tekanan utama pada sistim Hegel dapat menjadi agak
konservatif di kedua bidang; siapa yang menganggap metode dialektiknya sebagai
hal yang utama dapat tergolong ke dalam oposisi yang amat ekstrim, baik di
lapangan politik maupun di lapangan agama. Hegel sendiri, meskipun terdapat
cetusan-cetusan amarah revolusioner yang agak sering di dalam karya-karyanya,
dalam keseluruhannya kelihatan seolah-olah cenderung pada segi konservatifnya.
Memang, jika dibandingkan dengan metodenya sistimnya telah dibayarnya dengan
penyumbatan mental yang ketat yang lebih banyak. Kearah akhir tahun-tahun
tigapuluhan, keretakan di dalam aliran ini menjadi semakin nyata. Sayap kiri,
apa yang disebut kaum Hegelian Kiri, dalam perjuangan mereka melawan kaum
ortodoks pietis[8] serta kaum reaksioner
feodal, sedikit demi sedikit meninggalkan sikap membatasi diri yang secara
filsafat berbudi mengenai masalah terhangat pada waktu itu, masalah yang hingga
saat itu ditenggang oleh negara dan bahkan ajaran-ajaran mereka mendapat perlindungan.
Dan ketika, dalam tahun 1840, pietisme ortodoks dan reaksi feodal absolut naik
takhta bersama-sama dengan Friedrikh Wilhelm IV, pemihakan terbuka tak dapat
dihindari. Perjuangan itu berlangsung terus dengan menggunakan senjata
filsafat, tetapi bukan lagi untuk tujuan-tujuan filsafat yang abstrak,
perjuangan itu langsung diarahkan untuk menghancurkan agama tradisionil dan
eksistensi negara. Dan semeiitara di dalam Deutskhe
Jahrbiikher[9] tujuan praktis masih secara
menonjol diajukan dengan memakai kedok filsafat, di dalam Rheiniskhe Zeitung tahun 1842 mazhab Hegelian Kiri
langsung menampakkan dirinya sebagai filsafat burjuasi radikal yang sedang
penuh dengan cita-cita dan menggunakan jubah filsafat yang sayup hanya untuk
menipu sensur.
Tetapi, pada waktu itu, politik merupakan lapangan yang penuh
dengan duri., dan maka itu perjuangan utama ditujukan terhadap agama;
perjuangan itu, terutama sejak tahun 1840, secara tidak langsung adalah juga
poilitis. Tulisan Strauss Kehidupan
Jesus yang diterbitkan dalam
tabun 1835, telah memberikan dorongan pertama. Teori yang dikembangkan di
dalamnya tentang terjadinya mitos di dalam kitab-kitab injil kemdian diserang
oleh Bruno Bauer dengan pembuktian bahwa seluruh seri ceritera-ceritera
penjyebaran agama Nasrani itu telah direka-reka oleh penulis-penulisnya
sendiri. Pertentangan antara keduanya berlangsung dengan berkedokkan filsafat,
berupa perjuangan antara “kesadaran diri” dan “zat”. Masalah apakah
cerita-cerita mujizat di dalam kitab injil terjadi lewat penciptaan mitos yang
tradisionil di dalam lapisan tak sadar ditengah-tengah masyarakat atau apakah
ia direka-reka oleh penginjil-penginjil itu sendiri dibesarkan menjadi masalah
apakah, di dalam sejarah dunia, “zat” atau “kesadaran-diri” merupakan kekuatan
operatif yang menentukan. Akhirnya datanglah Stirner, nabi anarkisme zaman itu
- Bakunin telah mengambil banyak betul dari dia - dan menutupi “kesadaran-diri”
yang sovereign itu dengan “ego”nya[10] yang sovereign.
Kita tidak akan memasuki lebih lanjut segi proses kehancuran
aliran Hegelian ini. Yang lebih penting bagi kita ialah hal yang berikut init:
bagian terbesar dari kaum Hegelian Muda yang amat teguh, oleh kebutuhan praktis
perjuangannya melawan agama positif, didorong kembali ke materialisme
Inggris-Perancis. Hal itu membikin mereka berkonflik dengan sistim aliran
mereka sendiri. Sedangkan materialisme berpendapat bahwa alam adalah
satu-satunya realitet, menurut sistim Hegel alam hanyalah “penjelmaan” ide
absolut, dalam kata lain degradasi dari ide. Bagaimanapun, pemikiran dan
hasil-pemikiran itu, ide, disini adalah primer, alam derivatifnya, yang hanya
ada akibat rahmat ide. Dan dikontradiksi itu mereka menggerapai-gerapai sebaik
dan sejelek yang dapat mereka lakukan.
Kemudian muncul Hakekat
Agama Kristen[11] tulisan Feuerbach. Dengan satu pukulan
buku itu meniadakan kontradiksi tsb., yaitu tanpa berbelit-belit dia
menempatkan materialisme kembali di atas takhta. Alam ada lepas dari semua
filsafat. Alam adalah dasar yang diatasnya kita umat manusia - kita sendiri
adalah hasil alam telah tumbuh. Tidak ada yang ada diluar alam dan makhluk
halus yang diciptakan oleh fantasi agama kita hanyalah pencerminan - fantastik
dari hakekat kita sendiri. Kesaktiannya lenyap; “sistim” itu meledak dan
dilemparkan ke samping, dan kontradiksi itu, yang ditunjukkan ada hanya di
dalam khayal kita, telah diselesaikan. Untuk mempunyai gambaran tentang buku
itu orang harus mengalami sendiri pengaruhnya yang membebaskan. Kegairahan
adalah umum; kita semua segera menjadi Fuerbachian. Betapa bergairahnya Marx
menyambut konsepsi baru itu dan seberapa banyaknya - meskipun terdapat
pembatasan-pembatasan yang bersifat kritik - dia dipengaruhi oleh buku itu, dapat
dibaca di dalam bukunya Keluarga
Suci.[12]
Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada buku itu pun memberikan
sumbangan terhadap pengaruhnya yang segera. Gayanja-yang literer, kadang-kadang
bahkan melonjak tinggi, mendapatkan pembaca yang banyak dan bagaimanapun
merupakan seguatu yang menyegarkan setelah bertahun-tahun lamanya berfilsafat
Hegelian yang abstrak dan sulit. Hal yang sama berlaku bagi pendewaannya yang
boros terhadap cinta, yang, tampil sesudah kekuasaan berdaulat yang tak dapat
dibiarkan sekarang ini dari “akal murni”, mempunyai permaafannya, jika bukan
pembenarannya. Tetapi harus tidak kita lupakan ialah bahwa justru dua kelemahan
Feuerbach itu, yaitu bahwa “Sosialisme sejati”, yang sejak tahun 1844 telah
meluas bagaikan penyakit pes di Jerman “terpelajar”, mengambil sebagai
titik-tolaknya, penggantian pengetahuan ilmiah dengan kalimat-kalimat literer,
pembebasan umat manusia lewat “cinta” sebagai ganti pembebasan proletariat
lewat perubahan ekonomi dari produksi - singkatnya, menenggelamkan dirinya di
dalam tulisan baik yang memualkan dan di dalam keasyikan cinta-cinta yang khas
Herr Karl Grun.
Hal lain yang semestinya tidak kita lupakan ialah aliran Hegelian
berantakan, tetapi filsafat Hegelian tidak teratasi lewat kritik; Strauss dan
Bauer masing-masing mengambil satu seginya dan secara polemik mempertentangkan
segi itu terhadap segi yang lain. Feuerbach mendobrak sistim itu dan dengan begitu
saja melemparkannya. Tetapi sesuatu filsafat tidak dikesampingkan dengan hanya
mengatakan bahwa ia palsu. Dan karya yang begitu perkasa seperti filsafat
Hegel, yang telah mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap perkembangan
intelektuil bangsa, tidak bisa dilemparkan ke samping dengan hanya
mengabaikannya. Ia harus “disangkal” menurut artinya sendiri, yaitu dalam arti
bahwa disamping bentuknya harus ditiadakan lewat kritik, isi baru yang telah
dicapai lewat filsafat itu harus diselamatkan. Bagaimana hal itu terwujud akan
kita lihat dibawah ini.
Tetapi, sementara itu, Revolusi 1848 tanpa upacara mengesampingkan
seluruh filsafat itu persis seperti juga Feuerbach tanpa upacara telah
mengesampingkan Hegel. Dan dalam prosesnya Feuerbach sendiri didesak juga ke
belakang.
Catatan
[1] Feuerbach merupakan seorang Materialis, akan tetapi materialisme
Feuerbach merupakan materialisme yang menekankan pada sentralisme objek, dalam
artian berhenti pada primasi dari materi sebagai esensi realitas dan menegasikan
peran subjek-manusia dalam mengkonstitusikan objek-indrawi itu sendiri. -Red.
[2] Georg Wilhelm
Friedrich Hegel adalah seorang filsuf Jerman dan Pokok-Pokok
Pikiran adalah Ide Mutlak.
Oleh karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik
berkenaan dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik
akhir kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat
idealis, suatu filsafat yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide. –Red.
[3] Ludwig Feuerbach, oleh K.N. Starcke, Ph.D, Stuttgart.
Ferd. Enke, 1885. (catatan Engels).
[4] Bastille
adalah sebuah benteng pertahanan kota Paris yang dibangun pada tahun 1300.
Benteng ini diubah menjadi penjara bagi tawanan politik yang membahayakan
kekuasaan raja.
[5] Dalam fikiran Engels terlintas catatan
Heine tentang revolusi filsafat Jerman yang terdapat di dalam sketsa Heine Zur Geskhikhie der Religion und
Philosophie in Deutskhland (Tentang
Sejarah Agama dan Filsafat di Jerman), ditulis dalam tahun 1833. - red.
Heinrich
Heine (13 December 1797
– 17 February 1856) adalah
seorang pujangga dan pemikir politik jerman. –red.
[6] Star Chamber adalah pengadilan rahasia. red
[7] Friedrich
Wilhelm III (3
Agustus 1770 – 7 Juni 1840) adalah raja Prusia dari tahun 1797 hingga 1840.
[8] Pietis
= orang yang amat saleh.
[9] Deutskhe Jahrbiikher fur Wissenskhaft und Kunst (Majalah Tahunan Jerman untuk ilmu dan seni), organ kaum Hegelian Muda yang
redaksinya dipimpin oleh A. Ruge dan T. Ekhtermeyer, dan diterbitkan di Leipzig
dari tahun 1841 sampai 1843.
[10] Yang dimaksud Engels ialah tulisan Max Stirner (nama
samaran Kaspar Skhmidt) Der Einzige
und Sein Eigentum yang terbit
dalam tahun 1845.
[11] Tulisan
Feuerbach Das Wesen des
Christentums (Hakekat Agama Kristen) terbit di Leipzig dalam tahun 1841.
[12] Judul
lengkap buku Marx dan Engels ini ialah Die
Heilige Familie oder Kritik der kritiskhen Kritik. Gegen Bruno Bauer und
Konsorten (Keluarga Suci,
atau Kritik terhadap Kritik yang kritis. Menentang Bruno Bauer dkk). Mulanya
diterbitkan di Frankfurt Main dalam tahun 1845.
Comments
Post a Comment