Ali Syariati sebagai intelektual sekaligus ideolog Iran ternyata memiliki banyak paradigma dalam menyusun pemikirannya. Pemikiran Syariati cenderung mengarah eklektisisme, tidak mentah-mentah mengambil pemikiran tanpa melakukan seleksi secara kritis.
Selama tinggal di Paris, Ali Syariati bertemu dengan banyak orang yang mempengaruhi persepsinya mengenai kehidupan dan cara pandang dunia: dari militan, filsuf, akademisi, artis, penyair, musisi dan bahkan penjaga toko. Dengan sikap eklektiknya mampu memahami Iman Ali, Imam Hussain, Abu Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fenon, massignon dan Karl Marx. Oleh karena itu, Syariati sering dikatakan banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang keliru memahaminya.
Ali Syariati dalam kepribadiannya memiliki tiga karakter yang berbeda. Pertama, Ali Syariati seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan praktik; antara ide dengan kekuatan-kekuatan sosial; antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syariati seorang penganut Syiah yang fanatik yang percaya bahwa Syiah revolusioner berbeda dengan seluruh ideologi radikal lainnya. Ketiga, Ali Syariati seorang penceramah umum (public speaker) yang memukau banyak orang, terutama kaum muda.
Karakter tersebut memperjelas bahwa pemikiran Ali Syariati memiliki paradigma yang multidimensi.
Paradigma Marxisme banyak digunakan Syariati untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Perlawanan dan kritisisme terhadap kemapanan politik dan agama hampir seluruhnya didasarkan pada pendekatan dan analisis Marxisme meskipun Syari'ati memiliki sikap yang cenderung ambivalensi terhadap Marxisme. Di satu sisi Syari'ati datang sebagai pembela Marxisme namun disi lain membencinya. Salah satu pembelaannya terhadap Marxisme ialah dengan membantah anggapan bahwa Marx merupakan seorang materialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal bersifat materi. Menurut Syariati, Marx jauh dari materialistik ketimbang orang-orang idealis atau orang yang memandang diri orang beriman dan relegius.
Melalui Jabr-e Tarikh, Syariati membedakan pemikiran Marx sebagai berikut:
1. Marx muda, sebagai seorang filosof atheistik yang mengembangkan materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, Jiwa, dan kehidupan akhirat.
2. Marx dewasa, seorang ilmuan sosial yang ingin membongkar kepalsuan tentang bangaimana penguasa maupun pemilik modal mengeksploitasi rakyat tanpa memikirkan kesejahteraan.
3. Marx tua, seorang politisi yang mendirikan partai komunis. Marx tua inilah yang dikritik Syariati sebagai Marxisme Vulgar yang mengaburkan Marxisme ilmiah.
Dari ketiga fese pemikiran Marx, Syariati cenderung menerima yang kedua, yaitu gagasan Marx tentang perjuangan kelas. Syariati menerapkan pemikiran marxis dalam melihat persoalan dalam masyarakat. Masyarakat terbagi dalam kelas-kelas yang saling berkontradiksi, yaitu antara yang menindas dan tertindas. Pemikiran marxis juga terlihat dalam pandangan Syariati mengenai manusia dua dimensional yang terus berkontradiksi.
Melalui pemikiran kritis, Syariati melakukan kritik terhadap agama statis (fatalisme) yaitu agama sebagai tradisi, ritual, simbol yang kaku yang dikondisikan oleh para pemimpin keagamaan. Doktrin agama yang kaku tersebut telah menciptakan suatu alienasi, yaitu dengan berlindung di balik eksistensi keyakinan agama dan upacara-upacara yang sama-sama dijalankan telah menciptakan suatu hubungan palsu antara yang diperas dan yang memeras. Syariati memandang bahwa agama semacam itu tidaklah revolusioner dalam menegakan keadilan dan pembelaan terhadap kaum tertindas.
Ali Syariati menyatakan bahwa Islam yang benar adalah Islam yang diwariskan Imam Ali, Hussain serta Abu Dzar. Sebagai penganut mazhab Syiah, Syari'ati percaya bahwa Syiah-lah yang revolusioner dibandingkan dengan Islam yang lain. Sejarah mazhab Syiah adalah sejarah semangat Islam, jiwa yang telah menjadi korban badannya sendiri.
Ali Syariati memandang bahwa teks-teks dilihat sebagai bahasa simbolik yang selalu hidup dan memberikan pesan-pesan yang baru. Sehingga Syariati sering berbicara simbol, misalnya Syari'ati menyimbolkan perjuangan kelas sebagai konflik antara Qabil dengan Habil. Simbol Qabil sebagai kelas penindas sementara Habil sebagai kelas yang tertindas. Syari'ati juga menyimbolkakan penguasa tiran sebagai Firaun, orang yang memiliki kekayaan dan memiliki watak kikir sebagai Karun, serta orang cerdik-pandai religius gadungan sebagai Balam.
Dalam konsep manusia yang “menjadi” (human becoming), Syariati banyak terpengaruhi oleh filsafat eksistensialisme. Syari'ati menaruh rasa kagum terhadap eksistensialisme yang berbicara tentang kebebasan manusia, dengan kesadaran diri dan kebebasan, manusia yang menjadi selalu bergerak maju menuju kesempurnaan. Syariati mengemukakan bahwa masalah manusia merupakan yang paling penting dari segala masalah.
Selama tinggal di Paris, Ali Syariati bertemu dengan banyak orang yang mempengaruhi persepsinya mengenai kehidupan dan cara pandang dunia: dari militan, filsuf, akademisi, artis, penyair, musisi dan bahkan penjaga toko. Dengan sikap eklektiknya mampu memahami Iman Ali, Imam Hussain, Abu Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fenon, massignon dan Karl Marx. Oleh karena itu, Syariati sering dikatakan banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang keliru memahaminya.
Ali Syariati dalam kepribadiannya memiliki tiga karakter yang berbeda. Pertama, Ali Syariati seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan praktik; antara ide dengan kekuatan-kekuatan sosial; antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syariati seorang penganut Syiah yang fanatik yang percaya bahwa Syiah revolusioner berbeda dengan seluruh ideologi radikal lainnya. Ketiga, Ali Syariati seorang penceramah umum (public speaker) yang memukau banyak orang, terutama kaum muda.
Karakter tersebut memperjelas bahwa pemikiran Ali Syariati memiliki paradigma yang multidimensi.
Paradigma Marxisme banyak digunakan Syariati untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Perlawanan dan kritisisme terhadap kemapanan politik dan agama hampir seluruhnya didasarkan pada pendekatan dan analisis Marxisme meskipun Syari'ati memiliki sikap yang cenderung ambivalensi terhadap Marxisme. Di satu sisi Syari'ati datang sebagai pembela Marxisme namun disi lain membencinya. Salah satu pembelaannya terhadap Marxisme ialah dengan membantah anggapan bahwa Marx merupakan seorang materialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal bersifat materi. Menurut Syariati, Marx jauh dari materialistik ketimbang orang-orang idealis atau orang yang memandang diri orang beriman dan relegius.
Melalui Jabr-e Tarikh, Syariati membedakan pemikiran Marx sebagai berikut:
1. Marx muda, sebagai seorang filosof atheistik yang mengembangkan materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, Jiwa, dan kehidupan akhirat.
2. Marx dewasa, seorang ilmuan sosial yang ingin membongkar kepalsuan tentang bangaimana penguasa maupun pemilik modal mengeksploitasi rakyat tanpa memikirkan kesejahteraan.
3. Marx tua, seorang politisi yang mendirikan partai komunis. Marx tua inilah yang dikritik Syariati sebagai Marxisme Vulgar yang mengaburkan Marxisme ilmiah.
Dari ketiga fese pemikiran Marx, Syariati cenderung menerima yang kedua, yaitu gagasan Marx tentang perjuangan kelas. Syariati menerapkan pemikiran marxis dalam melihat persoalan dalam masyarakat. Masyarakat terbagi dalam kelas-kelas yang saling berkontradiksi, yaitu antara yang menindas dan tertindas. Pemikiran marxis juga terlihat dalam pandangan Syariati mengenai manusia dua dimensional yang terus berkontradiksi.
Melalui pemikiran kritis, Syariati melakukan kritik terhadap agama statis (fatalisme) yaitu agama sebagai tradisi, ritual, simbol yang kaku yang dikondisikan oleh para pemimpin keagamaan. Doktrin agama yang kaku tersebut telah menciptakan suatu alienasi, yaitu dengan berlindung di balik eksistensi keyakinan agama dan upacara-upacara yang sama-sama dijalankan telah menciptakan suatu hubungan palsu antara yang diperas dan yang memeras. Syariati memandang bahwa agama semacam itu tidaklah revolusioner dalam menegakan keadilan dan pembelaan terhadap kaum tertindas.
Ali Syariati menyatakan bahwa Islam yang benar adalah Islam yang diwariskan Imam Ali, Hussain serta Abu Dzar. Sebagai penganut mazhab Syiah, Syari'ati percaya bahwa Syiah-lah yang revolusioner dibandingkan dengan Islam yang lain. Sejarah mazhab Syiah adalah sejarah semangat Islam, jiwa yang telah menjadi korban badannya sendiri.
Ali Syariati memandang bahwa teks-teks dilihat sebagai bahasa simbolik yang selalu hidup dan memberikan pesan-pesan yang baru. Sehingga Syariati sering berbicara simbol, misalnya Syari'ati menyimbolkan perjuangan kelas sebagai konflik antara Qabil dengan Habil. Simbol Qabil sebagai kelas penindas sementara Habil sebagai kelas yang tertindas. Syari'ati juga menyimbolkakan penguasa tiran sebagai Firaun, orang yang memiliki kekayaan dan memiliki watak kikir sebagai Karun, serta orang cerdik-pandai religius gadungan sebagai Balam.
Dalam konsep manusia yang “menjadi” (human becoming), Syariati banyak terpengaruhi oleh filsafat eksistensialisme. Syari'ati menaruh rasa kagum terhadap eksistensialisme yang berbicara tentang kebebasan manusia, dengan kesadaran diri dan kebebasan, manusia yang menjadi selalu bergerak maju menuju kesempurnaan. Syariati mengemukakan bahwa masalah manusia merupakan yang paling penting dari segala masalah.
Comments
Post a Comment