Ketika di Paris, Ali Syariati menghadiri kuliah-kuliah beberapa profesor, yang karena satu alasan atau yang lain, dia katakan sebagai seseorang yang menarik dan berguna.
1. Louis Massignon
Antara tahun 1960 dan 1962 Ali Syariati menjadi asisten Louis Massignon seorang peneliti Islamologis beragama katolik. Bagi Massignon, agama samawi merupakan anak dari ayah yang sama, yakni Ibrahim. Sehingga monoteisme adalah agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, hanya terdapat perbedaan dalam landasan agamanya. Setiap agama memiliki keimanan yang menyatukan tujuan manusia seutuhnya. Massignon tetap mempertahankan pandangannya mengenai kesatuan agama-agama Ibrahim sampai pada batasan bahwa dia dianggap pecinta Islam dan mata-mata bagi Eropa dan Kristen.
Massignon sangat mengutamakan perhatiannya terhadap kelompok miskin, ketertindasan, dan keadilan. Masignon berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah prinsip agama yang mendasar. Dan Syariati memiliki pemahaman yang sama terhadap agama Islam yang membahwa perubahan dan memiliki suatu prinsip keadilan. Dengan konsep monoteisme dari Massignon, Syariati menelurkan makna monoteisme menjadi agama yang memiliki satu tuhan (tauhid), agama yang dimaksud adalah Islam, sedangkan agama-agama yang memiliki kepercayaan ganda atau banyak disebut sebagai multiteisme atau Syirik dan Kufr.
2. George Gurvitch
George Gurvitch seseorang profesor sosiologi di Universitas Sorbonne. Selain sebagai profesor, Gurvitch juga termasuk sebagai seorang komunis muda yang merupakan kader Lenin dan Trotsky. Sehingga dalam kuliahnya, Gurvitch selalu menerangkan kontruksi-kontruksi ideologi dunia dan pajang-lebar menerangkan tentang Marxisme. Meski bagi Gurvitch definisi kelas sosial yang dirumuskan Marx tidak sempurna karena hanya berdasarkan faktor ekonomi, sedangkan bagi Gurvitch definisi kelas harus lebih komprehensif dan memiliki karakter yang banyak bukan sekedar faktor ekonomi semata. Dalam hal lain, Gurvitch masih menggunakan kerangka metodologis umum dari Marx dan juga mengkritisi beberapa aspek kontruksinya.
Dari Gurvitch-lah Syariati belajar banyak tentang metodologi Marxisme. Syariati ingin menginterpretasi kembali pengetahuan yang telah diperoleh menurut persepsinya sendiri. Syari'ati berargumentasi bahwa kelas sosial merupakan dampak dari kondisi ekonomi dan material kehidupan sosial serta dampak keyakinan religius dan populer. Religius dan populer dalam model kelas sosial yang dilakukan Syariati dapat dipandang sebuah variasi konsep Gurvitch mengenai psikologi sosial dan kekhususan budaya.
3. Jacques Berque
Jaquer Berque adalah seorang Islamolog. Berque mengajarkan Ali Syariati tentang permasalahan agama yang tidak hanya dilihat dari normatifitasnya saja. Karena masalah tersebut bisa ditinjau dari perspektif sosiologisnya. Selain itu, konsep Berque tentang degree de signification (tingkat signifikansi), atau makna-makna yang nyata, membuat Syariati lebih radikal mereintrepretasikan konsepkonsep yang terdapat dalam ajaran Islam. Bagi Bebrque, kata-kata bisa membuat orang tertidur, maka perlulah menginterpretasikan ulang agar makna dalam kata-kata bisa ditransformasikan dari sebuah instrumen pasif menjadi instrumen yang massif menuju perubahan sosial yang terarah.
Dalam hal lain, dia memberikan interpretasi ulang dalam kosa-kata setiap muslim, yang selama ini telah meninabobokkan umat muslim dan berupaya untuk membangunkan dari tidurnya, agar ia sadar terhadap permasalahan yang ia hadapi. Kata-kata yang selama ini yang menimbulkan kemalasan dengan konsep intidzor, atau menunggu Imam Mahdi secara pasif, diubah menjadi makna menunggu secara massif. Begitu juga dengan kata-kata dan konsep yang semakna dengan penyerahan, fatalisme, kesalehan pribadi dalam doktrin penganut Syiah Iran, tiba-tiba ditransformasikan kedalam konsep aksi yang dinamis dan berkekuatan. Dengan itulah, dari Jacques Berque, Ali Syariati menyerap wawasan sosiologi Islam.
4. Frantz Fanon
Dalam kata pengantar untuk bukunya The Wretched of The Earth, Sartre mengatakan:
.... Fanon adalah orang pertama setelah Engels yang menerangkan proses sejarah dengan sangat terang benderang. Sartre mengibaratkan karya Fenon tersebut sebagai bom yang dipersiapkan oleh seorang manusia dari Dunia Ketiga- seorang yang berbicara tanpa izin kita, tanpa aturan-aturan kita, dan tanpa suara slogan-slogan kita. Namun kini dia berbicara, dan kita diam membisu. Alangkah hebatnya bahasa yang ia gunakan!. Ia membangkitkan rakyatnya melawan kita. (Kaum pribumi dan seluruh negara terbelakang, bersatulah!). Fenon adalah pembuat bom ini, tetapi biarlah saya yang meledakannya di jantungnya abad yang kotor, memuakan, malang, dan korup - di jantungnya kota ini (Paris) sehingga dengan musnahnya jatung ini dunia dapat memperoleh kembali kebebasan dan kemanusiaannya!.
Pada saat bergejolaknya permasalahan di negara Aljazair, Fanon aktif dalam revolusi tersebut. Semangat dan pemikiran cemerlang Fanon merupakan landasan inspirasi bagi Syariati. Syariati mengatakan bahwa dibawah pengaruh pemimpin yang memiliki jiwa pioner seperti Fanon, telah memunculkan gerakan untuk kembali kepada diri sendiri melawan dominasi budaya Barat.
5. Jean-Paul Sartre
Konsep Sartre mengenai kebebasan kebebasan manusia yang menimbulkan tanggung jawab untuk bangkit melawan segala bentuk penindasan dan menjadikan bagian yang integral dari diskursus dan ideologi baginya. Di Eropa dengan sistem kapitalisme yang berdampak pada pembatasan terhadap potensi manusia, Satre hadir dan membawa gelombang suara pembrotakan terhadapnya. Syariati mengatakan bahwa masyarakat Barat pada umumnya membutuhkan revolusi gaya Sartre dalam membebaskan manusia dari nafsu konsumerisme dan perilaku hedonistis. Maka Syariati kagum terhadap konsep eksistensialisme yang di ungkangkan oleh Sartre. Ia begitu menghormati Sartre sebagai manusia yang tercerahkan. Syariati mengemukakan bahwa Sartre, yang filsafat dan kepribadianya sangat dihormati tidak akan dikecam berdasarkan keyakinan ideologinya sendiri.
Sebagai tokoh yang kontroversial, Syari'ati tidak sepenuhnya meniru konsep eksistensialisme gaya Sartre. Syari'ati mengangap pandangan Sartre masih berdasarkan materialisme dan ateis meski terdapat kebebasan. Syariati beranggapan eksistensialisme tersebut akan gagal untuk mencapai tujuannya untuk kesejahteraan masyarakatnya sehingga Syari'ati merekonsiliasikan konsep eksistenislisme yang di dalamnya terdapat keimanan kepada Tuhan, agar adanya arahan moral dan etika untuk tindakan individu yang bebas dan memiliki kesadaran.
1. Louis Massignon
Antara tahun 1960 dan 1962 Ali Syariati menjadi asisten Louis Massignon seorang peneliti Islamologis beragama katolik. Bagi Massignon, agama samawi merupakan anak dari ayah yang sama, yakni Ibrahim. Sehingga monoteisme adalah agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, hanya terdapat perbedaan dalam landasan agamanya. Setiap agama memiliki keimanan yang menyatukan tujuan manusia seutuhnya. Massignon tetap mempertahankan pandangannya mengenai kesatuan agama-agama Ibrahim sampai pada batasan bahwa dia dianggap pecinta Islam dan mata-mata bagi Eropa dan Kristen.
Massignon sangat mengutamakan perhatiannya terhadap kelompok miskin, ketertindasan, dan keadilan. Masignon berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah prinsip agama yang mendasar. Dan Syariati memiliki pemahaman yang sama terhadap agama Islam yang membahwa perubahan dan memiliki suatu prinsip keadilan. Dengan konsep monoteisme dari Massignon, Syariati menelurkan makna monoteisme menjadi agama yang memiliki satu tuhan (tauhid), agama yang dimaksud adalah Islam, sedangkan agama-agama yang memiliki kepercayaan ganda atau banyak disebut sebagai multiteisme atau Syirik dan Kufr.
2. George Gurvitch
George Gurvitch seseorang profesor sosiologi di Universitas Sorbonne. Selain sebagai profesor, Gurvitch juga termasuk sebagai seorang komunis muda yang merupakan kader Lenin dan Trotsky. Sehingga dalam kuliahnya, Gurvitch selalu menerangkan kontruksi-kontruksi ideologi dunia dan pajang-lebar menerangkan tentang Marxisme. Meski bagi Gurvitch definisi kelas sosial yang dirumuskan Marx tidak sempurna karena hanya berdasarkan faktor ekonomi, sedangkan bagi Gurvitch definisi kelas harus lebih komprehensif dan memiliki karakter yang banyak bukan sekedar faktor ekonomi semata. Dalam hal lain, Gurvitch masih menggunakan kerangka metodologis umum dari Marx dan juga mengkritisi beberapa aspek kontruksinya.
Dari Gurvitch-lah Syariati belajar banyak tentang metodologi Marxisme. Syariati ingin menginterpretasi kembali pengetahuan yang telah diperoleh menurut persepsinya sendiri. Syari'ati berargumentasi bahwa kelas sosial merupakan dampak dari kondisi ekonomi dan material kehidupan sosial serta dampak keyakinan religius dan populer. Religius dan populer dalam model kelas sosial yang dilakukan Syariati dapat dipandang sebuah variasi konsep Gurvitch mengenai psikologi sosial dan kekhususan budaya.
3. Jacques Berque
Jaquer Berque adalah seorang Islamolog. Berque mengajarkan Ali Syariati tentang permasalahan agama yang tidak hanya dilihat dari normatifitasnya saja. Karena masalah tersebut bisa ditinjau dari perspektif sosiologisnya. Selain itu, konsep Berque tentang degree de signification (tingkat signifikansi), atau makna-makna yang nyata, membuat Syariati lebih radikal mereintrepretasikan konsepkonsep yang terdapat dalam ajaran Islam. Bagi Bebrque, kata-kata bisa membuat orang tertidur, maka perlulah menginterpretasikan ulang agar makna dalam kata-kata bisa ditransformasikan dari sebuah instrumen pasif menjadi instrumen yang massif menuju perubahan sosial yang terarah.
Dalam hal lain, dia memberikan interpretasi ulang dalam kosa-kata setiap muslim, yang selama ini telah meninabobokkan umat muslim dan berupaya untuk membangunkan dari tidurnya, agar ia sadar terhadap permasalahan yang ia hadapi. Kata-kata yang selama ini yang menimbulkan kemalasan dengan konsep intidzor, atau menunggu Imam Mahdi secara pasif, diubah menjadi makna menunggu secara massif. Begitu juga dengan kata-kata dan konsep yang semakna dengan penyerahan, fatalisme, kesalehan pribadi dalam doktrin penganut Syiah Iran, tiba-tiba ditransformasikan kedalam konsep aksi yang dinamis dan berkekuatan. Dengan itulah, dari Jacques Berque, Ali Syariati menyerap wawasan sosiologi Islam.
4. Frantz Fanon
Dalam kata pengantar untuk bukunya The Wretched of The Earth, Sartre mengatakan:
.... Fanon adalah orang pertama setelah Engels yang menerangkan proses sejarah dengan sangat terang benderang. Sartre mengibaratkan karya Fenon tersebut sebagai bom yang dipersiapkan oleh seorang manusia dari Dunia Ketiga- seorang yang berbicara tanpa izin kita, tanpa aturan-aturan kita, dan tanpa suara slogan-slogan kita. Namun kini dia berbicara, dan kita diam membisu. Alangkah hebatnya bahasa yang ia gunakan!. Ia membangkitkan rakyatnya melawan kita. (Kaum pribumi dan seluruh negara terbelakang, bersatulah!). Fenon adalah pembuat bom ini, tetapi biarlah saya yang meledakannya di jantungnya abad yang kotor, memuakan, malang, dan korup - di jantungnya kota ini (Paris) sehingga dengan musnahnya jatung ini dunia dapat memperoleh kembali kebebasan dan kemanusiaannya!.
Pada saat bergejolaknya permasalahan di negara Aljazair, Fanon aktif dalam revolusi tersebut. Semangat dan pemikiran cemerlang Fanon merupakan landasan inspirasi bagi Syariati. Syariati mengatakan bahwa dibawah pengaruh pemimpin yang memiliki jiwa pioner seperti Fanon, telah memunculkan gerakan untuk kembali kepada diri sendiri melawan dominasi budaya Barat.
5. Jean-Paul Sartre
Konsep Sartre mengenai kebebasan kebebasan manusia yang menimbulkan tanggung jawab untuk bangkit melawan segala bentuk penindasan dan menjadikan bagian yang integral dari diskursus dan ideologi baginya. Di Eropa dengan sistem kapitalisme yang berdampak pada pembatasan terhadap potensi manusia, Satre hadir dan membawa gelombang suara pembrotakan terhadapnya. Syariati mengatakan bahwa masyarakat Barat pada umumnya membutuhkan revolusi gaya Sartre dalam membebaskan manusia dari nafsu konsumerisme dan perilaku hedonistis. Maka Syariati kagum terhadap konsep eksistensialisme yang di ungkangkan oleh Sartre. Ia begitu menghormati Sartre sebagai manusia yang tercerahkan. Syariati mengemukakan bahwa Sartre, yang filsafat dan kepribadianya sangat dihormati tidak akan dikecam berdasarkan keyakinan ideologinya sendiri.
Sebagai tokoh yang kontroversial, Syari'ati tidak sepenuhnya meniru konsep eksistensialisme gaya Sartre. Syari'ati mengangap pandangan Sartre masih berdasarkan materialisme dan ateis meski terdapat kebebasan. Syariati beranggapan eksistensialisme tersebut akan gagal untuk mencapai tujuannya untuk kesejahteraan masyarakatnya sehingga Syari'ati merekonsiliasikan konsep eksistenislisme yang di dalamnya terdapat keimanan kepada Tuhan, agar adanya arahan moral dan etika untuk tindakan individu yang bebas dan memiliki kesadaran.
Comments
Post a Comment