Skip to main content

Sejarah Singkat Revolusi Iran

Iran merupakan salah satu negara yang memiliki rentetan historis panjang, terkenal sebagai bangsa yang besar dan tertua, pusat kerajaan Persia kuno. Pada tahun 513 SM. bangsa Persia melakukan invasi ke tempat yang sekarang merupakan Rusia Selatan dan Eropa Tenggara, serta menginvasi Yunani di tahun 480 SM. Pada tahun 1331 SM. Alexander dari Macedonia menaklukkan kerajaan Persia dan menjadi bagian dari Kekaisaran Alexander. Dinasti yang memerintah berturut-turut sejak berdirinya Dinasti Safavid (1501-1732), Dinasti Qajar (1794-1925), tahun 1920 Sayid Ziauddin Taba Taba’i, seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, menggulingkan dinasti Qajar berganti ke Dinasti Pahlevi (1925-1978) dan akhirnya tumbang oleh revolusi Islam 1979.
 
Iran merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama  sumber daya minyak, sehingga banyak negara Barat menginginkan Iran sebagi daerah kekuasaan seperti Jerman dan Amerika. Kekuasaan Iran di pegang oleh kekuasaan otoriter dari dinasti Reza Syah Pahlevi (1925-1941). Pada masa pemerintahan Reza Syah yang memiliki simpati pro Jerman, ingin menjadikan negara Iran sebagai negara maju dengan model Barat. Moderinisasi, industrialisasi dan sentalisasi kekuasan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadikan ciri utama pemerintahan Reza Syah.
Peraturan pemerintah yang ketat dan memaksa serta menunjukan peraturan dan tindakan yang anti agama, seperti persyaratan mengenai ketentuan ijazah sarjana hukum diperoleh dari universitas nasional atau luar negeri (5 Maret 1928), peraturan penggunaan pakaian model barat (28 Desember 1928), mempersempit kekuatan hukum dan sosial pengadilan agama yang diserahkan kepada kantor-kantor sekuler (1932), merobohkan majid Gowharsyhad (21 & 22 Juli 1935). Kontroversi kebijakan pemerintah tersebut tidak menggugah perlawanan dari ulama dan cenderung pasif. Adapun yang melawan akan di ditangkap dan dibunuh, seperti Sayyed Hasan Modarres, seorang tokoh ulama yang popular karena dicurigai menentang keras tata cara mengenakan pakaian (ditangkap, 1929; dibunuh, 1936).

Di bawah kepemimpinan Reza Syah semua eleman masyarakat dari oposisi religius maupun sekuler dibungkam. Situasi dan kondisi seperti itu terberkembang hingga tahun 1941 saat Reza Zyah diturunkan dari tahta. Krisis kepemimpinan memuncak setelah kekuasaan Reza Syah benar-benar runtuh, dimana dirinya sebagai kepala negara tidak lagi memeritah sesuai dengan konstitusi. Pada tahun itu juga, seorang pemimpin nasionalis sekular dari partai Front Nasional bernama Mossadeq diangkat sebagai perdana menteri yang mengendalikan Iran. Mulai saat itu kemudian kondisi sosial dan politik negara tersebut sangat kondusif bagi munculnya kelompok-kelompok keagamaan dan gerakan politik. Aktivitas keagamaan dan politik publik yang sepenuhnya terlarang hingga saat itu kembali bergairah.

Di lain pihak, setelah runtuhnya kekuasaan Reza Syah, Sekutu makin merasa khawatir. Mereka melihat kekuatan politik fron nasional Mossadeq yang nasionalis dan keberadaan Partai Tudeh yang beraliran Marxis sebagai ancaman kepentingan Barat, terutama menyangkut minyak. Maka Sekutu mulai bekerja sama dengan golongan militer Iran serta para pendukung Syah untuk melakukan kudeta. Pada tahun 1953, kekuasan Mossadeq berakhir dan di penggatinya oleh putra Reza Syah yaitu Muhammad Syah Pahlevi.

Pemerintahan Syah Pahlevi selalu mengadopsi ide-ide Barat. Hal itu terlihat dalam melakukan pembahuran besar-besaran dengan mengirim intelektual ke Barat dengan harapan kembali dengan membawa ide-ide untuk membangun Iran. Modernisasi yang dilakukan Syah Pahlevi berdampak pada kehidupan yang ke-Barat-Barat-an. Rezim penguasa semakin lama semakin otoriter dengan melarang adanya partai independen. Kemudian Syah pada tahun 1975, Syah Pahlevi membentuk Partai Kebangkitan Tunggal dan memperlemah kedudukan lembaga keagamaan. Tindakan semena-mena rezim Syah didukung oleh SAVAK sebuah dinas polisi rahasia yang kejam.

Krisis politik terjadi di Iran ketika ratusan ribu orang turun kejalan dalam peringatan 10 Muharram di kota suci Syiah pada 1 Desember 1978 dengan tuntutan kepada Syah untuk mundur dari pemerintahan. Peringatan tersebut menjadi kerusuhan masal setelah tentara memblokir jalan-jalan dan menembaki para demonstran. Peristiwa berdarah itu memicu terjadinya pemogokan massal di seluruh Iran, yang menuntut Jendral Azhari dipecat karena kebrutalannya menembaki masyarakat yang tidak berdosa. Pada tanggal 11-12 Desember 1978, digelar demonstrasi nasional yang diikuti sekitar 3 juta orang di depan Avenue Syah (Istana tempat kerja Syah) menentang pemerintahan. Keesokan harinya Syah memerintahkan tentaranya untuk membubarkan massa dengan kekerasan. Perjuangan rakyat Iran berhasil memaksa mundur Jendral Azhari pada tanggal 31 Desember 1978. Kemudian Syah mengangkat Shapur Bahtiar sebagai Perdana Menteri.

Diangkatnya Bahtiar, tidak meredakan demonstrasi rakyat Iran. Rakyat tetap menginginkan berakhirnya pemerintahan rezim Syah Pahlevi dan menginginkan Khomaeni menjadi pemimpin Iran. Akhirnya, pada 3 Februari 1979, menjadi hari yang bersejarah, Khomaeni mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi dan meminta Bahtiar mengundurkan diri. Mundurnya Bahtiar dari Perdana Menteri, maka berakhirnya dinasti Pahlevi sekaligus tumbangnya kerajan Persi.

Comments

Popular posts from this blog

Paradigma Pemikiran Ali Syariati

Ali Syariati sebagai intelektual sekaligus ideolog Iran ternyata memiliki banyak paradigma dalam menyusun pemikirannya. Pemikiran Syariati cenderung mengarah eklektisisme, tidak mentah-mentah mengambil pemikiran tanpa melakukan seleksi secara kritis. Selama tinggal di Paris, Ali Syariati bertemu dengan banyak orang yang mempengaruhi persepsinya mengenai kehidupan dan cara pandang dunia: dari militan, filsuf, akademisi, artis, penyair, musisi dan bahkan penjaga toko. Dengan sikap eklektiknya mampu memahami Iman Ali, Imam Hussain, Abu Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fenon, massignon dan Karl Marx. Oleh karena itu, Syariati sering dikatakan banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang keliru memahaminya. Ali Syariati dalam kepribadiannya memiliki tiga karakter yang berbeda. Pertama, Ali Syariati seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan praktik; antara ide dengan kekuatan-kekuatan sosial; antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syariati seora...