Skip to main content

TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN CARA MENEGAKKANNYA


I.            PENGERTIAN.
Yang dimaksud dengan tindak pidana (delik) atau  menurut Prof. Moeljatno, S.H., perbuatan pidana  adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)  yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar ketentuan tersebut, sedangkan menurut Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. yang dimaksud dengan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Adapun yang dimaksud tidak pidana ketenagakerjaan, adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum ketenagakerjaan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
II.         JENIS TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN.
Tindak pidana di bidang ketenagakerjaan terdiri dari 2 (dua) dua jenis, yaitu, tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelangggaran.
Tindak pidana kejahatan, yaitu antara lain sebagaimana diatur dalam :
1.           Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan, yaitu :
·        Pasal 183 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima ) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
·        Pasal 184 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
·        Pasal 185 ayat (1)  Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah).
2.           Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu :
·        Pasal 43 ayat (1) Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sedangkan tindak pidana pelanggaran, yaitu antara lain sebagaimana diatur dalam :
1.           Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu :
Ø Pasal 186 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan  Pasal  338 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah).
Ø Pasal 187 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37  ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), fsn Pasal 144, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit      Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak                 Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah).
Ø Pasal 188 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148., dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit       Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak            Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah).
III.     CARA MENEGAKKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN.
Berdasarkan ketentuan Pasal 176 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diamanahkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Untuk itu apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan adalah melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Adapun Proses penangan perkara di bidang ketenagakerjaan secara garis besar, dapat diuraikan sebaai berikut :
1.     PELAPOR melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenagakerja.
2.     Atas dasar laporan PELAPOR tersebut, PEGAWAI PENGAWAS, melakukan serangkaian kegiatan pengawasan/pemeriksaan terhadap adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan.
3.     Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya tidak pidana ketenagakerjaan, maka PEGAWAI PENGAWAS memberikan Nota Pembinaan.
4.     Apabila setelah diberi Nota pembinaan ternyata tidak dilaksankan, maka PENGAWAI PENGAWAS menyerahkan perkaranya kepada PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL untuk dilakukan penyidikan.
5.     PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada PENYIDIK  POLRI.
6.     Setelah PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL telah selesai melakukan penyidikan, kemudian dibuat Berkas Perkaranya.
7.     Setelah selesai pemberkasan PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui PENYIDIK POLRI.
8.     Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima Berkas Perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan.
IV.     PROSES PERSIDANGAN.
Proses persidangan dalam perkara pidana, secara garis besar adalah sebagai berikut :
1.           Sidang Pertama (Pembacaan Dakwaan).
Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaannya.
2.           Sidang Kedua (Eksepsi Atas Dakwaan).
Terdakwa / Penasehat Hukum Terdakwa membacakan eksepsi/nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
3.           Sidang Ketiga (Tanggapan Atas Eksepsi).
Jaksa Penuntut Umum membacakan tanggapan atas eksepsi terdakwa/penasehat hukum terdakwa.
4.           Putusan Sela
Majelis Hakim membacakan Putusan Sela atas eksepsi terdakwa/ penasehat hukum terdakwa.
5.           Pemeriksaan Saksi/Ahli
Dalam persidangan ini diperiksa baik saksi/ahli Verbalisem yang diajukan Jaksa Penuntut Umum maupun saksi adecharge yang diajukan oleh Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
6.           Tuntutan
Jaksa Penuntut Umum membacakan tututan pidana.
7.           Pembelaan.
Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan pledooi/ pembelaan atas tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum.
8.           Repliek
Jaksa Penuntut Umum membacakan repliek atas pledooi/ pembelaan Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
9.           Dupliek
Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan dupliek atas repliek Jaksa Penuntut Umum.
10.      Putusan.
Majelis Hakim membacakan putusan hakim.
V.         UPAYA HUKUM.
1.           Upaya Hukum biasa :
1.1.   Pemeriksaan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi
1.2.   Kasasi Tingkat Kasasi Mahkamah Agung
2.           Upaya hukum luar biasa.
2.1.   Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
2.2.   Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PARTAI KOMUNIS INDONESIA - JAMALUDDIN TAMIM - BUKTI-BUKTI HITAM ATAS PUTIH

BUKTI-BUKTI HITAM ATAS PUTIH.  Berdasarkan pula suratnja HB PKI Sardjono-Budisutjitro, jang sudah menjatakan terus-terang/tegas, bahwa mereka/HB PKI Sardjono sudah tak perlu berhubungan lagi dan sudah memutuskan hubungannja dengan Tan Malaka, jang ditambahkannja pula dengan pernjataannja jang mengatakan belum pernah mengadakan Putusan Prambanan 25 December 1925 itu, maka Tan Malaka pun memulailah pula menambah  bukti-bukti hitam atas putih, dalam sedjarah perdjuangan PKI untuk menelandjangi, membatalkan pemalsuan dan penghianatan kepada sedjarah Partai  jang sudah dimulai oleh HB PKI Alimin pada 15 Februari 1926, jang dichianatinja/tak disampaikannja thesis dan tantangan Tan Malaka terhadap Putusan Prambanan jang njata sesat itu. Pada Kongres Djuni 1924 di Djakarta, Tan Malaka sudah menegaskan arah dan tudjuan jang pokok bagi PKI ijalah kearah Indonesia Merdeka 100% jang bertjorak Republik Indonesia, jang sudah dibuktikan oleh Tan Malaka hitam atas putih dengan bukunja: N...

:: RUKUN BELAJAR, SERIKAT, PARTAI DAN NEGARA BAGI MASSA AKSI YANG TERATUR

Oleh: Ibnu Parna  (dikutip dari "Pengantar Oposisi Rakyat") Sudah diketahui bahwa, massa rakyat bukannya obyek (sasaran) semata-mata. Massa rakyat juga merupakan subyek (pribadi) yang bersifat menentukan. Sebagai pribadi yang bersifat menentukan itu massa rakyat bergerak dimedan usaha ke arah perbaikan dan perubahan nasib. Kepahitan yang dialami massa rakyat sehari-hari perlahan mengepalkan tinju rakyat dan sesuai dengan pengalaman yang ada padanya yang akhirnya bangunlah rakyat itu. Putra-putra rakyat yang dapat membela dan menulis, berkesempatan dengan modal kesungguhan mempelajari keadaan dan pengalaman orang banyak didalam dan diluar negeri. Kesempatan yang ada dipergunakan dengan modal kesungguhan ini akhirnya mengundang tanggungjawab di antara putra-putra rakyat yang maju untuk beserta secara aktif menyempurnakan bangunan massa rakyat yang makin meluas. Di sinilah massa rakyat sebagai subyek perjuangan berangsur-angsur juga menjadi obyek perjuangan. Massa ra...

Omnibus Law: Kemudahan bagi siapakah?

Kita ketahui bersama, ramainya issue penggabungan UU melalui meknaisme omnibuslaw untuk kemudahan investasi semakin bergulir dan ramai jadi perbincangan publik. Karena memang pemerintah menargetkan RUU omnibus cipta lapangan kerja harus segera masuk ke DPR untuk bisa disahkan dan ditetapkan. Semakin terus didesakkan, semakin ramai juga perdebatannya, dan bisa jadi juga akan kembali ramai masyarakat mendatangi istana negara dan gedung DPR RI, tidak terkecuali buruh. Loh..apa kepentingannya buruh memperdebatkan dan meramaikan omnibus law ini?, buruh kan sudah ada UU-nya sendiri UUK 13/2003?. Memulai dari pertanyaan tersebut tulisan ringkas ini coba membahas Omnibus law Cipta lapangan kerja khusus klaster ketenagakerjaan tentang istilah easy hiring dan easy firing. Dari berbagai kabar berita katanya pemerintah sudah menemukan 82 UU terdiri dari 11 klaster akan di omnibus kan menjadi satu peraturan perundang-undangan yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, salah satu klasternya adalah ...