Skip to main content

Brosur: Kapitalisasi Pendidikan




Komite Pimpinan Pusat Serikat Mahasiswa Indonesia

 Perjuangan pendidikan kita bukan melawan kekuatan lama,
sejarah kuno yang sudah di-musium-kan
Bukan tuan FEODAL tapi tuan KAPITALIS
Sejarah kita adalah sejarah perlawanan terhadap KAPITALISASI PENDIDIKAN
We Are Student Not Customers



KAPITALISASI PENDIDIKAN
I
Pendidikan merupakan modal utama dalam mengembangkan potensi manusia menjadi manusia yang “tercerahkan”. Pendidikan mampu meruntuhkan penjara kebodohan manusia, membalikan dari yang gelap menjadi terang, pembuka pintu kepada kesadaran-diri, meningkatkan harkat dan martabat manusia serta membebasakan manusia dari penindasan. Seperti halnya ungkapan Paulo Freire, pendidikan dapat membongkar “kebudayaan diam.” Yang dimaksud “kebudayaan diam” adalah suatu kondisi di mana masyarakat dibuat tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa, sehingga masyarakat tidak bisa atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada akhirnya cenderung menerima keberadaan itu secara fatalistis. Pendidikan merupakan alat pembebasan umat manusia –yaitu membangkitkan kesadaran kritis yang membuka jalan ke arah pengungkapan ketidakpuasan sosial secara tepat karena ketidakpuasan itu adalah unsur-unsur yang nyata dari sebuah situasi yang menindas (Paulo Freire, 1995:3).
Pendidikan yang berwatak progresif akan menyerukan penataan atau pembangunan kembali masyarakat serta harus menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan positif dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu, pendidikan hendaknya dapat menjadi sarana pembangunan manusia yang seutuhnya sebagai subyek yang berkualitas dan memberikan transformasi pada perubahan sosial menuju masyarakat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi dan partisipatif secara budaya.
Dibawah sistem kapitalisme, pendidikan digunakan sebagai alat untuk menindas. Kaum penindas menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai perangkat yang sangat ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, yaitu mempertahankan tatanan menindas melalui manipulasi dan penekanan (Paulo Freire, 1995:3). Pendidikan yang menindas menurut Freire ditunjukan melalui konsep gaya bank yang melahirkan sikap membeo di kalangan pelajar dan mahasiswa dengan penekanan ideologis yang mengindroktrinasi mereka agar menyesuaikan diri dengan situasi penindasan (Paulo Freire, 1995:59-60)
Selanjutnya, Albert Einstein seorang ilmuan terkemuka mengatakan bahwa “anarki ekonomi kapitalis sebagaimana yang terjadi saat ini adalah sumber utama dari kejahatan.” Einstein juga memandang kejahatan kampitalisme ada relasinya dengan dunia pendidikan, ia mengatakan “seluruh sistem pendidikan kita menderita karena setan (kapitalisme, pen) ini,” yaitu “suatu sikap kompetisi yang berlebihan tertanam dalam benak setiap pelajar, yang diajarkan semata-mata untuk memperoleh kesuksesan sebagai persiapan untuk masa depannya.” Kejayaan kapitalisme muncul Sejak abad ke-16, yakni ketika terjadi perubahan fundamental yang ditandai dengan runtuhnya dominasi feodalisme dan digantikan oleh kekuasaaan borjuis. Kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang filsafat sosial dan politiknya didasarkan kepada azas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya serta perluasan faham kebebasan pasar. Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah “suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik dimana semua pemilikan adalah milik privat.” Para filosof-filosof borjuis terdahulu menyatakan bahwa kepemilikan pribadi merupakan sesuatu yang suci dan sakral –dan kemudian negara harus menjaminnya. Akan tetapi, pada kenyataannya hak milik merupakan sumber dari munculnya kelas-kelas sosial dan munculnya penindasan.
Kapitalisme memiliki watak dan sifat menghisap (eksploitasi), melipat-gandakan dan mengembangkan keuntungan (akumulaitif) serta mengeksport kapital (ekspansi) ke setiap lini dan penjuru kehidupan umat manusia. Kapital itu sendiri ialah segala sesuatu yang dipergunakan untuk mendatangkan nilai baru disamping nilainya sendiri. Produksi kapital adalah produksi barang dan jasa yang ditujukan untuk keperluan pasar dan bukan untuk kepentingan sendiri. Di dalam pasar sendiri terdapat persaingan (kompetisi), tidak lain adalah persaingan dalam melipat-gandakan keuntungan dan persaingan dalam menindas.
Sejarah terus bergerak maju, menempatkan posisi kapitalisme yang lebih arogan dalam memenuhi hasratnya. Penghisapan yang tanpa mengenal batas-batas wilayah serta mempengaruhi tatanan masyarakat baik sosial, ekonomi, politik dan budaya. Maka proses modernisasi atau mekanisasi industri kapitalis (produksi barang dan jasa) selalu didorong agar mencapai nilai lebih sebanyak-banyaknya dan membuka pasar yang seluas-luasnya, hal itu juga dipercepat oleh perkembangan ilmu dan teknik. Bagai jaring laba-laba, kapitalisme menjerat segala sektor kehidupan masyarakat kemudian menjarah dan menghisap. Maka perkembangan kapitalisme tidak hanya berkutat pada industri manufaktur saja, tapi pada industri jasa, termasuk layanan jasa pendidikan.
II
Kemudian ketika pendidikan sudah menjadi sebuah komoditi privat maka arahnya pun komersial dan profit oriented. Komoditi menurut para ekonom adalah barang yang memiliki kegunaan. Memandang komoditi, Marx lebih mendalam, yakni komoditi merupakan obyek yang berada di luar kita; yang bisa memenuhi kebutuhan manusia; dimana padanya kerja manusia melekat; dan tidak dikonsumsi oleh produsernya, tetapi oleh pihak lain. Frase “padanya kerja manusia melekat” dan “tidak dikomsumsi oleh produsennya” adalah penjabarannya lebih lanjut atas kekhususan produksi komoditi dalam sistem kapitalisme.
Atas dasar hak milik atas institusi pendidikan (sekolah dan universitas), komodifikasi pendidikan tidak lain adalah usaha untuk melipat-gandakan keuntungan dan lebih leluasa dalam melakukan penghisapan. Orang-orang tua menyadari nilai pendidikan merupakan penting bagi masa depan anak-anak mereka tapi Komodifikasi pendidikan membuat mereka mengeluarkan seluruh tenaga dan fikirannya untuk dapat membeli komoditi tersebut. Hal tersebut menunjukkan akses pendidikan ditentukan dengan kemampuan atau daya beli terhadap komoditi jasa pendidikan. Kemudian Eko Prasetyo dengan lugas memaparkan tentang komodifikasi pendidikan ini dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Dia berhasil memperlihatkan bahwa saat ini ilmu pengetahuan berubah menjadi barang dagangan yang hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya, sedangkan orang-orang miskin tidak mampu membelinya.
Komersialisasi atas komoditi pendidikan terlihat jelas ketika masyarakat harus membayar biaya masuk sekolah atau kuliah berikut Sumbangan Penunjang Pendidikan (SPP) dan Sistem Kredit Semester (SKS) tiap semesternya. Data Kemdikbud hingga September 2011 menunjukan praktik kapitalisasi pendidikan, yakni ada 1.305 sekolah berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) di Indonesia yakni Sekolah Dasar sebanyak 239, SMP sebanyak 356, SMA sebanyak 359 dan SMK sebanyak 351. Dari hasil penelitian, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 perbulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta. Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri. Kebijakan pemerintah mengadakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang berkembang secara masif dan eklusif dengan payung Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 50 ayat 3 yang menyatakan, “Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional.”
Setelah mengikuti ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pertenganhan tahun 2012 , ada sekitar 618 ribu calon mahasiswa yang mengikuti SNMPTN. Mereka memperebutkan 120 ribu kursi yang tersedia di 61 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Selain jalur SNMPTN tulis, 53 ribu mahasiswa juga diberikan jatah untuk masuk lewat jalur undangan. Sisanya, melalui sistem seleksi mandiri.
Dari sejumlah proses seleksi tersebut, jalur mandirilah yang paling memakan biaya. Selisihnya dengan calon mahasiswa yang masuk melalui SNMPTN, cukup besar, hingga mencapai puluhan juta rupiah.
Sebagai contoh, Universitas Brawijaya (Unibraw) mematok uang Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan (SPFP) bagi calon mahasiswa Fakultas Kedokteran sebesar Rp 155 juta. Sumbangan sebesar itu merupakan jalur mandiri. Ada 738 kursi yang disediakan di fakultas ini. Perinciannya, jurusan keperawatan sebanyak 135 kursi, ilmu gizi sebanyak 164, pendidikan dokter gigi 80 kursi, kebidanan 55 kursi, farmasi 70 kursi. Untuk biaya SPFP sebesar Rp 30 juta, sementara mandiri Rp 155 juta.
Untuk penerimaan mahasiswa baru tahun ini, Unibraw menyediakan 13 ribu kursi bagi semua fakultas. Dari jumlah itu, sebanyak 60 persen melalui jalur SNMPTN dan undangan. Sisanya jalur mandiri.
Dalam industri jasa pendidikan, posisi pelajar-mahasiswa dijadikan “customers” (pelanggan jasa pendidikan). Persoalan mengenai pelajar-mahasiswa sebagai “customers” ini menjadi penting dalam memahami sepenuhnya pola interaksi dalam sistem pendidikan yang telah dikapitalisasi. Mengapa pelajar-mahasiswa menjadi “customers”? Karena untuk dapat mengakses pendidikan mereka diharuskan membeli jasa pendidikan. Kemudian untuk memperpanjang usia pendidikan mereka harus membayar SPP dan SKS tiap semester –dan jika pelajar-mahasiswa tidak membayarnya, maka mereka akan dihapus dari daftar pelanggan jasa pendidikan. Tidak berhenti disitu, mereka juga harus membayar lagi ketika ingin melanjutkan kejenjang pendidikannya (TK-SD-SMP-SMA-PT) dan semakin tinggi jenjang pendidikannya maka semakin mahal harga komoditi pendidikannya. Maka dapat dikatakan bahwa komersialisasi atas komoditi pendidikan sehingga pelajar-mahasiswa menjadi “customers” merupakan praktik kongkrit dari kapitalisasi pendidikan.
III
Pada sekitar tahun 1980-an, konsep ekonomi negara kesejahteraan Maynard Keynes dianggap rapuh oleh oleh beberapa kalangan kelompok borjuasi. Kaum borjuasi membutuhkan formula baru untuk menggairahkan kembali “kebebasan pasar.” Hal ini juga sebagai jawaban atas krisis ekonomi di Amerika Latin pada penghujung tahun 1980-an. Tentang pasar bebas, Karl Marx dalam pidato di dalam Asosiasi Demokratik Kota Brussel, 9 Januari 1848 mengatakan: “sebagai kesimpulan, apakah perdagangan bebas itu …, ia adalah kebebasan modal. Manakala penghalang-penghalang yang membatasi kemajuan modal itu telah ditumbangkan, maka itu cuma berarti telah diberikan kebebasan penuh untuk beraksi.”
Dewasa ini, konsep pasar bebas sering disebut dengan globalisasi ataupun liberalisasi. Liberalisme menganjurkan kebebasan kepada individu untuk bersaing secara bebas di pasar dan mengakui kepemilikan pribadi terhadap pelbagai faktor produksi. Ronald Reagen dan Margareth Tatcher sebagai corong dari kaum borjuasi menyerukan pasar bebas kepenjuru dunia. Mereka menawarkan solusi dalam penyelamatan krisis kapitalisme dengan kebijakan “Consensus Washington.” Kebijakan Consensus Washington tersebut meliputi empat hal, yaitu (1) Pengetatan anggaran, termasuk penghapusan subsidi negera, (2) Liberalisasi sektor keuangan, (3) Liberalisasi perdagangan, (4) Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di bidang pendidikan, liberalisasi ditunjukan dengan lepasnya tanggungjawab negara dalam menjamin dan memfasilitasi pendidikan bagi seluruh rakyat. Menurut bank dunia (The World Bank) kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar global, penggunaan teknologi yang dapat meningkatkan pendapatan dan produktivitas, serta daya tarik Indonesia bagi kalangan investor, dibentuk melalui keberadaan sumber daya manusia. Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dalam standar pendidikan dengan negara tetangga. Bahkan, survei yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan Jepang yang beroperasi di negara-negara Asia di tahun 2003 mengungkapkan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tidak memadainya pasokan keahlian manajemen di Indonesia menyebabkan rendahnya minat investor terhadap Indonesia. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi Indonesia ketika pesaing regional terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Dengan alasan persaingan global, pemerintah meliberalisasikan pendidikan nasional.
Liberalisme yang dilakukan pemerintah telah mengubah pendidikan sebagai hak publik menjadi komoditi (barang) privat. Liberalisasi pendidikan merupakan konsekuensi keikut-sertaan Indonesia dalam WTO (World Trade Organization) yakni sejak tahun 1994 dengan diterbitkannya undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization.” Liberalisasi pendidikan semakin konkrit sejak ditandatangani kesepakatan GAT's (General Agreement on Trade in Services) mengenai liberalisasi perdangan 12 sektor jasa, antara lain Kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akutansi, Pendidikan dan jasa-jasa lainnya.
Dunleavy (1980) memaknai privatisasi sebagai pemindahan permanen dari aktifitas produksi barang dan jasa dari pemerintah ke sektor swasta. Dari pernyataan tersebut, nilai dasarnya adalah perpindahan kepemilikan dari kepemilikan sosial menjadi kepemilikan privat. Privatisasi dalam kerangka kapitalisasi pendidikan ditunjukan melalui otonomi sekolah dan kampus yang diberlakukan oleh pemerintah membawa implikasi hak dan kewajiban institusi pendidikan terutama pendidikan tinggi untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber pendapatan guna menghidupi diri. Legalitas Privatisasi PTN dituangkan dalam PP 61/1999 tentang Pendidikan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum Milik Negara, yang Mengubah status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). PP ini kemudian diikuti dengan peraturan lanjutannya yang dibuat oleh Pemerintah. PP No. 152/2000. PP No. 153/2000, PP No. 154/2000, PP No. 155/2000; kesemuanya tentang pem-BHMN-an UI, ITB, UGM, IPB. Privatisasi berarti pencabutan subsidi pendidikan secara bertahap lima tahun terhitung semenjak 1999. Sebagai lembaga yang berbasis modal, maka lembaga pendidikan yang telah diprivatisasi akan berhitung untung-rugi dalam setiap aktivitasnya, seperti layaknya lembaga bisnis.
IV
Dalam produksi kapitalis telah menciptakan keterasingan bagi manusia, sama halnya dengan pendidikan kita yang telah disulap menjadi “arena pasar.” Guna memuluskan kepentingan akumulasi dalam dunia pendidikan, kaum kapitalis mengalienasi pelajar dan mahasiswa –mengisi kesadaran mereka dengan slogan-slogan, ideologi-ideologi borjuasi yang menciptakan rasa takut, patuh dan individualistik yang terpisah dengan sosialnya. Pelajar-mahasiswa teralienasi dari dirinya sendiri, dari sesama pelajar-mahasiswa dan teralienasi dari sosialnya. Namun disisi yang lain mereka dibuat merasa bangga dengan kemewahan, senang dengan kegiatan kehobiannya serta bahagia menatap ilusi masa depannya. Hal tersebut yang disebut Herbert Marcuse dengan “terlena dalam eforia ketidak-bahagiaan.”
Kapitalisasi pendidikan membuat pelajar-mahasiswa teralienasi dan kehilangan eksistensi dan kesadaran-diri. Alienasi, seperti yang dikatakan Erich Fromm merupakan salah satu dari jenis penyakit  kejiwaan masyarakat industri dimana seseorang tidak lagi merasa dirinya sebagai miliknya sendiri, sebagai pusat dunianya sendiri, melainkan telah terenggut oleh suatu mekanisme di luar dirinya yang tak mampu dikendalikannya lagi. Mereka merelakan dirinya sendiri untuk dihancurkan dan dibentuk ulang oleh norma-norma yang dikendalikan oleh kaum borjuasi. Pelajar-mahasiswa harus tunduk kepada kurikulum, standar kopetensi kelulusan, ling and match dan mengikuti segala aturan buatan borjuis. Hal itu dipertegas oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman  Djojonegoro (mantan  Mendiknas  tahun  1993-1998) dengan konsep pendidikan link and match, “era globalisasi menuntut sumber daya manusia tangguh. Pendidikan yang  berorientasi  aspek  kompetensi  menjadi  kuncinya.  Mengingat  pentingnya  aspek  kompetensi, prinsip linkage  and  matching harus  dikembangkan” (archive.web.dikti.go.id: 11 Juli 2011). Sejatinya pelajar-mahasiswa tidak bahagia dalam mengerjakan aktivitas belajar, karena belajar itu bukan kegiatan belajar sesungguhnya. Mereka tidak pernah mendapatkan hasil dari kegiatan belajar namun penyangkalan dari eksistensi, kesadaran dan kreativitasnya yang mereka dapatkan.
Bagi Fourier “manusia tidak dilahirkan korup, manusia dirusak oleh keadaan-keadaan. Benar bahwa orang kaya secara finansial berada dalam posisi untuk mengikuti kecendrungan-kecendrungannya, tapi wataknya dirusak oleh status khusus dalam masyarakat yang dipunyai oleh kelas berhak-istimewa. Dengan kata lain, walaupun para pelajar-mahasiswa dapat membeli komoditi pendidikan, mereka akan masuk dalam jeruji ideologisasi untuk dirusak melalui transformasi ideologi borjuis. Ideologisasi oleh borjuis tidak lain adalah untuk melanggengkan penindasan.
Pendidikan seharusnya sebagai ruang bersosialisasi, solidaritas dan kebersamaan, namun dalam kapitalisasi pendidikan mereka terpisah satu sama lain. Justru kemudian sifat-sifat individualis dan egois yang melekat pada  setiap diri pelajar-mahasiwa. Kepentingan mereka menjadi kepentingan individu dan pelajar-mahasiswa akan saling bersaing dan menaklukan satu sama lain. Kalaupun berteman, itu karena ada kepentingan yang terkait dengan dirinya.
Kemudian, pelajar-mahasiswa akan menganggap kehidupan sosial sebagai objek instrumental semata. Mereka dipisahkan dari kenyataan-kenyataan diluar sekolah atau universitas. Persoalan-persoalan tentang kemiskinan, pencabutan subsidi rakyat, PHK massal buruh, penembakkan petani dianggap bukan urusan mereka. Padahal sebagai pelajar-mahasiswa, mereka seharusnya bersama rakyat mengetahui persoalan-persolan serta sebagai intelektual memiliki tanggungjawab sosial. Pelajar-mahasiswa harus menjadi intelektual organik di tengah-tengah massa rakyat.
Pemisahan-pemisahan relasi sosial ini tidak terlepas dari ideologisasi kaum borjuis dalam ruang-ruang pendidikan. Menurut Doug Lorimer, ilmu-pengetahuan sosial borjuis tidak mampu memenuhi tugas ilmu-pengetahuan kemasyarakatan yang sejati, yakni memberikan teori tentang masyarakat yang integral, yang bisa mengungkapkan hukum-hukum umum yang mengatur asal-usul, organisasi dan perkembangannya. Sungguh, ajaran-ajaran teori sosial borjuis yang dominan, sejak awal abad ke-20, telah berdalih bahwa upaya untuk menciptakan teori umum tentang perkembangan sosial adalah sia-sia saja karena, menurut mereka, masyarakat hanya lah kumpulan dari berbagai individu atomik yang tergabung secara kebetulan, dan sejarah sekadar rekaman berbagai peristiwa unik yang terjadi secara kebetulan.
Kapitalisasi pendidikan telah mengingkari bahwa lingkungan sosial merupakan produk dari tindakan kolektif manusia. Ia telah memisahkan tugas sejarah pelajar-mahasiswa dalam lapangan sosialnya. Pendidikan sebagai lokomotif kesadaran sosial untuk mendorong perubahan-perubahan sosial diubah menjadi kesadaran individu-individu untuk kepentingan individunya.
V
Selanjutnya mengenai regulasi yang disahkan oleh DPR RI pada hari jum'at, tanggal 13 Juli 2012  yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Undang-undang Pendidikan Tinggi tersebut, tidak lain merupakan totalitas dari kapitalisasi pendidikan nasional.
Dasar filosofis mengenai lepasnya tanggung jawab negara dalam menjamin dan memfasilitasi pendidikan bagi rakyat adalah “otonom”. Otonom merupakan bentuk kehendak kebebasan (free will) dan menolak segala intervensi dari manapun. Namun, apa yang terjadi bila otonom diletakan pada sektor pendidikan? Dengan dalih otonom, lembaga pendidikan tidak memperbolehkan campur tangan negara dalam menjalankan usaha (industri layanan jasa) pendidikan. Otonom juga akan membebaskan lembaga kampus dalam mengembangkan pendapatannya melalui mekanisme pasar. Di dalam Undang-undang pendidikan tinggi, otonom di atur pada pasal 62 (1) yaitu Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Otonom meliputi otonomi akademik dan non-akademik yang diatur pada pasal 64. Oleh karena itu, otonom merupakan “sesat pikir” dari liberalisasi pendidikan.
Pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan juga terlihat jelas pada pasal 84 Undang-undang Pendidikan Tinggi, bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi. Kemudian diteruskan pada pasal 85 yakni, pertama bahwa Perguruan Tinggi dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi melalui kerja sama pelaksanaan Tridharma. Kedua, pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
Praktik kapitalisasi pendidikan tinggi ditunjukan dengan adanya mekanisme pasar dan erat sekali hubungan dengan dunia industri sebagai penopang proses kapitalisme itu sendiri. Dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi telah memfasilitasi proses tersebut yang tertuang pada pasal 86. Pada pasal 86 (1) menyatakan bahwa, pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi. Kemudian pasal 86 (2) menyatakan, pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Internasionalisasi kapital turut mendorong kapitalisasi di sektor pendidikan. Ekspor modal di sektor pendidikan dilakukan dengan modus kerjasama internasional dalam berbagai bentuk. Pasal 50 (4) menyatakan bahwa Kerja sama internasional dalam pengembangan pendidikan tinggi dapat dilakukan, antara lain, melalui hubungan antara lembaga pendidikan tinggi di Indonesia dan lembaga pendidikan tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Selanjutnya, konsepsi mengenai dana pinjaman mahasiswa terbukti gagal dijalankan di Eropa maupun Amerika. Bahkan pada situasi krisis, banyak mahasiswa jatuh miskin kemudian gagal bayar. Dana pinjaman mahasiswa merupakan strategi merauk keuntungan pada industri Pendidikan Tinggi dengan ilusi kemudahan akses pendidikan. Praktik seperti itu, dituangkan pada pasal 76 (2) poin b; Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Pendidikan sebagai hak publik, seharusnya dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi pasal 74 (1) hanya memperioritaskan calon mahasiswa  yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. Jika dihitung secara kuantitatif, jumlah 20% tidak akan terpenuhi mengingat rumitnya persyaratannya yang diperlukan. Dan yang pasti ada sekitar 80% bahkan lebih yang akan membeli produk komoditi pendidikan dengan biaya mahal.
Keberadaan Undang-undang Pendidikan tinggi juga akan semakin mengancam kehidupan demokratisasi kampus. Bahkan undang-undang ini merupakan NKK/BKK jelid II yang bersifat diskriminatif, yaitu terdapat diskriminasi antara organisasi intra dan ekstra kampus. Pada pasal 77 (3) yang hanya diakui adalah organisasi mahasiswa intra kampus. Sehingga organiasi ekstra kampus seperti Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) tidak diakui, tidak mendapatkan hak-haknya, akan terancam dibekukan dan dibubarkan. Pasal ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan sebagai hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Kemudian Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.”
VI
Kapitalisasi pendidikan merupakan penindasan di dalam dunia pendidikan. Bahwa praktik komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari praktik kapitalisasi pendidikan. Dan sebagai pelajar-mahasiswa yang tidak mau diposisikan sebagai customers, apa yang harus dilakukan? Common Sense pelajar-mahasiswa ke-umum-an membenarkan bahwa dirinya adalah customers. Keadaan tersebut harus segera diluruskan sebab pandangan yang tradisional dan mekanik itu tetap membawa mereka pada jurang kapitalisasi pendidikan dan semakin lama semakin mendalam. Inilah pentingnya melakukan kegiatan agitasi dan propaganda ditingkatan massa pelajar-mahasiswa. Agitasi dan propaganda bertujuan untuk menerangkan seterang-terangnya keadaan dan dampak-dampak dari kapitalisasi pendidikan, sehingga mereka tersadarkan dan ikut bejuang suka-rela.
Kemudian pelajar-mahasiswa yang telah tersadarkan harus segera disambut dengan pengorganisasian. Dengan mengorganisasikan diri mereka, perjuangan melawan kapitalisasi pendidikan lebih solid dan terencana. Perjuangan tersebut dimulai dengan persoalan kongkrit yang dihadapi oleh pelajar-mahasiswa didalam sekolah atau kampus dan dimungkinkan untuk dimenangkan. Dengan aksi-aksi mimbar bebas, aksi massa hingga pada pemogokan-pemogokan kampus sebagai cara untuk mendapatkan hak-hak sebagai pelajar-mahasiswa. Selanjutnya perjuangan tersebut selalu ditingkatkan hingga pada perjuangan perlawanan terhadap negara sebagai alat kelas borjuis –yang melegalkan regulasi yang menindas dalam dunia pendidikan nasional.
Gerakan perlawanan terhadap kapitalisasi pendidikan merupakan gerakan Revolusi Pendidikan. Revolusi Pendidikan dengan tuntutan “Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demakratis dan Bervisi Kerakyatan Tanpa Syarat!!!” juga sebagai usaha jalan lapang menuju Pembebasan Nasional dalam melawan kekuatan Imperialisme. Inilah sejarah kita, sejarah perlawanan terhadap kapitalisasi pendidikan dan dengan kekuatan persatuan pelajar-mahasiswa, kita akan menangkan perperangan ini!.

Comments

Popular posts from this blog

Paradigma Pemikiran Ali Syariati

Ali Syariati sebagai intelektual sekaligus ideolog Iran ternyata memiliki banyak paradigma dalam menyusun pemikirannya. Pemikiran Syariati cenderung mengarah eklektisisme, tidak mentah-mentah mengambil pemikiran tanpa melakukan seleksi secara kritis. Selama tinggal di Paris, Ali Syariati bertemu dengan banyak orang yang mempengaruhi persepsinya mengenai kehidupan dan cara pandang dunia: dari militan, filsuf, akademisi, artis, penyair, musisi dan bahkan penjaga toko. Dengan sikap eklektiknya mampu memahami Iman Ali, Imam Hussain, Abu Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fenon, massignon dan Karl Marx. Oleh karena itu, Syariati sering dikatakan banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang keliru memahaminya. Ali Syariati dalam kepribadiannya memiliki tiga karakter yang berbeda. Pertama, Ali Syariati seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan praktik; antara ide dengan kekuatan-kekuatan sosial; antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syariati seora...